Anak, Pendidikan, dan Pangan Lokal

Makanan yang disantap anak-anak bagi sebagian orang mungkin dillihat sebagai hal yang lumrah. Tidak perlu diperhatikan apalagi diajarkan pengetahuanya secara khusus kepada anak-anak sebagai bagian dari pembelajaran. Orang tua juga seakan tak peduli dengan apa yang disantap anak-anak saat di sekolah. Mungkin karena hal ini banyak orang kemudian berjualan jajanan di sekolah. Anak-anak sangat memerlukan energi dalam setiap kegiatan mereka wajar jika mereka kemudian jajan di sekolah. Karena kurang perhatian itu anak-anak jadi kurang tahu potensi lokal pangan mereka dan pengetahuan yang melingkupinya.

Seungguhnya pangan memiliki dimensi yang amat kaya untuk digali dan dipelajari. Mari kita coba lihat salah satu sisinya. Pernahkah kita berfikir bahwa rasa yang kita kecap sekarang ini sudah dijajah oleh msg, garam, dan gula? Hampir semua makanan atau jajanan anak-anak terasa manis, asin, atau penuh dengan rasa palsu dari msg. Siapa yang diuntungkan dari kondisi ini? Tentu saja korporasi besar yang mensuplai sumber-sumber makanan itu. Mengapa dijajah? Anak-anak selalu mereferensikan rasa pada rasa yang ditimbulkan oleh tiga zat tadi. Mereka akhirnya hanya suka makanan pabrikan. Tidak suka sayur dan tidak suka makanan alamiah. Mereka tidak tahu dan orangtuanya malah lupa pada rasa sayur yang lezat. Anak-anak hanya meminta makanan yang sesuai selera lidah mereka dan orang tua akhirnya juga terkurung dalam masakan pabrikan. Bukankah dengan demikian kita menggantungkan sumber makanan kita pada sumber di luar kita?

Seungguhnya kita kaya sekali dengan pangan lokal yang bisa mencukupi kebutuhan energi dan gizi kita. Sayang sekali kita melupakanya. Di dalam kakayaan itu kita bisa juga belajar jati diri kita dan siapa kita. Ternyata dari proses menanam dan proses mengolah makanan lokal kita bisa belajar soal kerja keras, keuletan, kreatifitas dan juga kesabaran. Bukankah ini membicarakan siapa kita?

Kami di Sumbu Pakarti memiliki berbagai kegiatan berkaitan dengan pengetahuan akan pangan ini. Misalnya saja kami mengajak anak-anak sanggar kami mencatat dan mencari tahu pangan apa saja yang bisa mereka jadikan bahan. Tidak berhenti disitu, kita kemudian masak bersama. Tiap minggu (atau sesuai kesepakatan) anak-anak sanggar kita ajak membawa makanan buatan sendiri dan bahnya harus lokal. Nanti di kelas saling berbagi dan saling bercerita. Anak-anak paham bagaimana mencukupi kebutuhan secara lokal dan orang tua bisa lebih beragam dalam memberikan asupan gizi. Kesehatan juga lebih terjamin dan lama-lama tidak tergantung lagi pada makanan buatan pabrik.

Sebuah Stasiun TV Lokal sempat meliput kegiatan kami ini. Berikut videonya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.